Beranda | Artikel
Bagaimana Menasehati Istri?
Kamis, 17 Agustus 2023

Assalâmu’alaikum. Saya mau bertanya tentang hukum suami memarahi istri untuk menasehatinya. Terima kasih. Jazâkumullâh khairan.

Wassalâmu ‘alaikum.

+628967094xxxx

 

Jawab: Tidak ada rumah tangga kecuali ada masalah dan perkara yang menyulut kemarahan, baik pada suami ataupun istri. Apalagi pada masa belakangan ini ketika banyak orang tidak mengerti syariat Islam dan tidak memandang akibat dari kemarahan yang muncul tersebut. Demikian juga saat sedang marah, betapa besarnya keinginan kita menyalahkan semua orang, terutama orang-orang terdekat di sekitar kita. Dalam konteks kehidupan rumah tangga, suami atau istri akan menjadi sasaran utama kemarahan pasangannya. Dalam kondisi seperti itu, maka biasanya kontrol diri berkurang sehingga sangat besar kemungkinan dia akan mengeluarkan perilaku dan kata-kata kurang baik yang selama ini tersimpan rapi di alam bawah sadarnya. Dalam konteks inilah antara lain relevansi dari pesan Nabi ﷺ :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa yang beriman pada Allâh dan Hari Akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam.” (HR Al-Bukhâri dan Muslim).

Sahabat Ibnu Mas’ud رضي الله عنه , salah seorang Sahabat Nabi ﷺ mengatakan:

يَالِسَانُ، قُلْ خَيْرًا تَغْنَمْ، وَاسْكُتْ عَنْ شَرٍّ تَسْلَمْ، مِنْ قَبْلِ أَنْ تَنْدَمَ، ثُمَّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ ص يَقُوْلُ: (( أَكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فِيْ لِسَانِهِ)).

“Wahai Lisan! Katakan yang baik, maka kamu akan beruntung dan diamlah dari perkataan buruk, maka kamu akan selamat, sebelum kamu menyesalinya”. Kemudian ia berkata, “Aku telah mendengar Rasûlullâh ﷺ bersabda, ‘Kebanyakan kesalahan manusia terjadi melalui lisannya’. (HR ath-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Kabîr dan dishahîhkan al-Albâni dalam Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb no. 2872).

Apakah banyak bicara itu dilarang dalam Islam? Tentu saja tidak. Bahkan berbicara banyak itu diperlukan asal pada waktu dan saat yang tepat. Begitu juga diam itu diperlukan pada momen yang sesuai seperti pada saat seseorang ingin marah, apapun penyebab kemarahannya. Kalau dalam kehidupan sehari-hari yang normal, kita diperintahkan untuk menjaga perkataan, maka perintah untuk menjaga lisan dari perkataan yang buruk saat sedang emosi menjadi lebih penting dan mendesak untuk diamalkan terutama antara pasangan suami-istri. Imam Ibnu Rajab al-Hanbali رحمه الله dalam Jâmi’ul Ulûm wal Hikam menyatakan, “Banyak kata haram dapat dengan mudah meluncur dari mulut suami yang marah seperti tuduhan zina dan cacian, dan bahkan bisa mengarah pada kekufuran.” (1/369).

Namun perlu diingat, tidak semua marah itu dilarang dalam Islam. Kemarahan itu dilarang apabila dilandasi emosi menyangkut masalah pribadi dan tidak menyangkut pada ketentuan syariat. Apabila terkait dengan pelanggaran agama yang dilakukan oleh pasangan, maka Islam membolehkan bahkan mewajibkan seorang Muslim untuk marah dan bertindak tegas dalam rangka mendidik istri kita.

Inilah salah satu sifat dan sikap Rasûlullâh ﷺ . Beliau menunjukkan sikap marah dan tegas kepada siapapun apabila hukum Allâh سبحانه وتعالى dilanggar, termasuk istri beliau di dalamnya.

Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa kemarahan Saudara apabila ada sikap keluarga yang bertentangan atau kurang sesuai dengan spirit ajaran al-Qur`ân adalah sikap yang terpuji selama memberikan maslahat perbaikan kepada mereka. Namun ingatlah, bila bersikap marah kepada istri atau keluarga menimbulkan dampak negatif, hendaknya Saudara bersabar dan menggunakan cara lain dalam membimbing dan meluruskan kesalahan yang ada.

Ingatlah bahwa tujuan dan niat yang baik harus disertai dengan sikap dan terapi yang baik juga, sehingga bisa menjadi obat penawar dan pelurus kesalahan dan kemungkaran yang ada di rumah tangga saudara. Janganlah engkau menjadi sebab yang membantu syaitan dalam menghancurkan rumah-tangga dan menyesatkan mereka serta menjauhkan mereka dari Islam dan bersikap benar.

Bersikap marah di sini harus dilandasi dengan tujuan baik untuk pembinaan dan kasih-sayang kepada mereka, bukan dilandasi oleh emosi dan ingin memuaskan diri dengan memarahi mereka.

Pada dasarnya, membina keluarga dan membimbing mereka kepada kebaikan harus dilandasi oleh kasing-sayang dan kelembutan. Sebab, kelembutan akan menghiasi sesuatu menjadi baik, dan sebaliknya sifat kasar dan emosional akan merusaknya. Nabi ﷺ sendiri sempat memberikan petunjuk kepada kita dalam sabda beliau ﷺ :

 إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

Sesungguhnya kelembutan tidaklah ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya dan tidaklah tercabut dari sesuatu kecuali akan memperburuknya. (HR Muslim no. 2594).

Beliau ﷺ juga menasehati ‘Aisyah istri beliau dengan nasehat:

 إِنَّ اللَّهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ، وَيُعْطِيْ عَلَى الرِّفْقِ مَالَايُعْطِيْ عَلَى العُنْفِ، وَمَالاَ يُعْطِيْ عَلَى مَاسِوَاهُ

Sesungguhnya Allâh itu maha lembut, menyukai kelembutan dan memberi atas kelembutan yang tidak diberikan pada sikap kasar dan tidak diberikan atas selainnya. (HR al-Bukhâri).

Oleh karena itu, janganlah pergunakan cara marah kecuali diyakini akan memberikan kemaslahatan dan perbaikan pada orang yang diingkari atau diluruskan kesalahannya. Cukuplah al-Qur`ân sebagai pedoman petunjuk yang harus diperhatika dan yang telah ada pada salah satu ayatnya firman Allâh سبحانه وتعالى yang artinya :

Maka disebabkan rahmat dari Allâh-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imrân/3:159).

‘Aisyah, istri Nabi ﷺ, pernah ditanya tentang akhlak Nabi dalam berrumah tangga. Aisyah menjawab, akhlak Nabi ﷺ adalah al-Qur`ân. Menurut Ibnu Rajab, dalam Jâmi’ al-Ulûm wa al-Hikam, maksudnya adalah al-Qur`ân sebagai standar utama dalam bersikap terhadap keluarganya.

Mari belajar kembali syariat Islam dalam menghadapi permasalahan keluarga. Semoga bermanfaat.Wallâhu a’lam.

Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Baituna edisi 07/Thn. XVIII Muharram 1436 H / November 2014 M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/konsultasi-keluarga/bagaimana-menasehati-istri/